Bagi sebagian orang, menunaikan ibadah haji adalah sebuah perjalanan spiritual yang membutuhkan kesiapan fisik dan mental. Namun, bagi mereka yang hidup dengan penghasilan pas-pasan, perjalanan ini juga menjadi ujian kesabaran, perjuangan, dan keteguhan hati. Seperti yang dialami oleh Eme (65) dan Holili Addrae Sae (60), dua tukang becak yang harus menabung selama puluhan tahun demi bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Bertahun-tahun Menabung di Tengah Keterbatasan
Di sudut Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Eme menjalani kehidupannya sebagai tukang becak sejak muda. Setiap pagi, ia keluar rumah dengan harapan mendapat penumpang yang cukup untuk membawa pulang uang bagi istri dan anak-anaknya. Tak jarang, ia harus berjuang di bawah terik matahari atau hujan deras demi mengantar pelanggan ke tujuan.
Di sampingnya, sang istri, Icih (62), bekerja sebagai buruh tani. Setiap hari, Icih pergi ke sawah orang lain untuk membantu mencangkul atau menanam padi dengan bayaran yang tidak seberapa. Namun, keduanya memiliki satu mimpi besar: menunaikan ibadah haji.
Mereka sadar bahwa penghasilan mereka jauh dari cukup untuk langsung mendaftar haji. Namun, itu tidak membuat mereka menyerah. Setiap hari, mereka menyisihkan Rp 20.000 hingga Rp 50.000 dari hasil keringat mereka. Jika rezeki sedang baik, jumlah yang disisihkan bisa lebih banyak. Namun, jika sedang sulit, mereka hanya bisa berdoa agar tetap diberi kekuatan untuk terus menabung.
Tak jarang, tabungan mereka harus terkuras karena kebutuhan mendesak. Saat anak-anak mereka jatuh sakit atau saat harga kebutuhan pokok melonjak, mereka terpaksa mengambil sebagian tabungan yang sudah dikumpulkan. Namun, setelah kondisi kembali stabil, mereka pun mulai menabung lagi. Ini bukan perjuangan setahun atau dua tahun, melainkan puluhan tahun penuh kesabaran.
Tahun demi tahun berlalu. Di saat banyak orang lain sudah berulang kali pergi ke luar negeri atau menjalani hidup dengan lebih nyaman, Eme dan Icih masih terus bertahan dengan impian mereka. Hingga akhirnya, pada tahun 2022, nama mereka muncul dalam daftar calon jemaah haji. Air mata haru pun tak terbendung.
Namun, perjuangan belum selesai. Biaya keberangkatan memang sudah ditanggung oleh tabungan mereka, tetapi masih ada banyak pengeluaran lain yang harus dipikirkan. Ongkos perjalanan ke embarkasi, biaya perlengkapan haji, hingga kebutuhan selama di Mekkah dan Madinah masih menjadi beban yang harus mereka pikirkan.
Di tengah kebingungan, bantuan datang dari pemerintah daerah dan orang-orang di sekitar mereka. Dengan hati penuh syukur, mereka akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci, membawa harapan dan doa yang telah mereka kumpulkan selama puluhan tahun.
Duka di Tengah Kebahagiaan
Kisah serupa datang dari Sampang, Jawa Timur. Holili Addrae Sae adalah seorang tukang becak yang juga bekerja sebagai kuli angkut di pelabuhan. Sejak muda, ia bercita-cita untuk pergi haji. Namun, dengan penghasilan yang tak menentu, ia tahu bahwa impian itu akan sulit terwujud.
Tidak seperti kebanyakan orang yang menabung di bank, Holili memilih cara yang berbeda. Setiap kali mendapatkan uang lebih, ia membelikan emas. Menurutnya, menyimpan uang dalam bentuk emas lebih aman karena tidak akan habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Strategi ini ternyata berhasil. Selama bertahun-tahun, ia mengumpulkan emas sedikit demi sedikit. Hingga suatu hari di tahun 2011, keberuntungan datang. Istrinya, Busideh, mendapatkan uang dari arisan. Ditambah dengan hasil penjualan emas, mereka pun akhirnya bisa mendaftar sebagai calon jemaah haji.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Saat pengumuman keberangkatan mereka keluar pada 2022, Busideh lebih dulu berpulang. Duka yang mendalam menyelimuti Holili. Ia sempat ragu untuk tetap berangkat, karena baginya, perjalanan ini terasa kurang berarti tanpa sang istri di sisinya.
Namun, ia kemudian teringat akan impian mereka berdua. Dengan berat hati, ia mengikhlaskan biaya haji istrinya untuk badal haji, berharap pahala perjalanan ini tetap mengalir untuk almarhumah.
Jalan Terjal Menuju Tanah Suci
Menjelang keberangkatan, Holili menghadapi tantangan lain. Uang yang ia kumpulkan memang cukup untuk biaya haji, tetapi tidak cukup untuk bekal selama perjalanan dan pembayaran kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Ia kembali merasa bimbang. Namun, seperti perjalanan panjang yang telah ia tempuh, bantuan datang dari orang-orang di sekitarnya.
Dengan penuh rasa syukur, Holili akhirnya bisa melangkahkan kaki ke Tanah Suci. Dalam setiap doa yang ia panjatkan, namanya dan nama istrinya selalu disebut. Baginya, perjalanan ini bukan hanya tentang dirinya sendiri, tetapi juga tentang cinta, kesetiaan, dan janji yang telah ia buat bersama Busideh bertahun-tahun lalu.
Pelajaran dari Perjuangan Mereka
Kisah Eme dan Holili adalah bukti bahwa impian bisa terwujud dengan kesabaran, ketekunan, dan doa. Mereka tidak pernah menyerah meskipun jalan yang mereka tempuh sangat panjang dan penuh rintangan.
Di zaman sekarang, banyak orang yang mengeluhkan sulitnya mencapai sesuatu, tetapi kisah mereka mengajarkan bahwa tidak ada mimpi yang mustahil jika kita berusaha. Dari jalanan kota kecil hingga jejak langkah di Tanah Suci, mereka membuktikan bahwa kerja keras dan keikhlasan selalu menemukan jalannya.
Perjalanan mereka mungkin telah sampai di puncaknya, tetapi inspirasi yang mereka tinggalkan akan terus hidup, mengingatkan kita semua bahwa setiap impian—sebesar apa pun itu—dapat dicapai dengan tekad yang kuat